Restorasi Tata Kelola Penyiaran Televisi dan Radio di Indonesia

0
342
Abdul Rosyid T Walid

Oleh Abdul Rosyid T Walid

Tata kelola penyiaran televisi dan radio di Indonesia perlu direstorasi. Sebab, meskipun mengalami kemajuan teknologi dan perkembangan pesat, penyiaran di Indonesia masih dihadapkan pada sejumlah tantangan yang perlu diatasi untuk meningkatkan kualitas dan keadilan dalam industri ini. Selain itu, dampak dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan Analog Switch-Off (ASO) atau penghentian siaran TV analog yang sepenuhnya dialihkan ke siaran TV digital juga menjadi catatan penting perjalanan siaran di Indonesia.

Setelah selesai tahap I, data Kominfo (2023) menyebut bahwa tahap II ASO dilakukan pada 31 Desember 2021 di 20 wilayah layanan di 44 kabupaten kota. Selanjutnya, tahap III pada 31 Maret 2022 di 30 wilayah layanan yang terdiri atas 107 kabupaten kota dan pada tahap IV, dilaksanakan mulai 17 Agustus 2022 di 31 wilayah dengan 110 kabupaten kota. Apakah ini sudah beres? Tentu belum. Masih banyak pekerjaan rumah dalam bidang penyiaran yang perlu dituntaskan.

Problem Penyiaran Indonesia

Jika dianalisis, penyiaran di Indonesia masih menyimpan beragam masalah. Pertama, berpihaknya media terhadap kekuasaan politik. Dari sini, fungsi pers sebagai pilar demokrasi dan jembatan masyarakat semakin tumpul bahkan teramputasi. Kita bisa lihat sejumlah televisi dan radio di Indonesia dimiliki oleh penguasaha sekaligus penggede partai politik.  Penyiaran di Indonesia juga terpengaruh oleh kepentingan politik dan komersial. Hal ini dapat mengakibatkan adanya pembatasan terhadap kebebasan pers dan cenderung menempatkan kepentingan politik atau komersial di atas kepentingan publik.

Kedua, ketidakseimbangan representasi. Penyiaran di Indonesia masih menghadapi masalah ketidakseimbangan dalam representasi gender, etnis, agama, dan latar belakang sosial dalam program-programnya. Hal ini dapat mengakibatkan stereotip dan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok tertentu serta mengabaikan keberagaman masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Ketiga, regulasi yang lemah dan tidak konsisten*. Meskipun telah ada undang-undang yang mengatur tentang penyiaran di Indonesia, implementasinya masih belum optimal. Regulasi yang lemah dan tidak konsisten dapat memberikan celah bagi pelanggaran-pelanggaran dalam penyiaran, seperti penayangan konten yang tidak pantas atau melanggar prinsip-prinsip jurnalistik.

Keempat, dominasi oligopoli media. Industri penyiaran di Indonesia masih didominasi oleh sejumlah besar pemain besar atau oligopoli media. Hal ini dapat menghambat kebebasan berekspresi dan menyebabkan terbatasnya pluralitas suara dalam ruang penyiaran. Kelima, konten sensasional dan tidak etis dikonsumsi. Salah satu masalah utama dalam penyiaran di Indonesia adalah munculnya konten yang bersifat sensasional dan tidak etis. Beberapa program televisi dan radio cenderung memproduksi konten yang mengandalkan sensasi dan kontroversi demi menarik perhatian pemirsa, tanpa memperhatikan nilai-nilai moral atau etika dalam penyiaran. eenam, keterbatasan akses dan infrastruktur. Masih terdapat sejumlah daerah di Indonesia yang mengalami keterbatasan akses terhadap siaran televisi dan radio, terutama di daerah terpencil dan pedalaman. Keterbatasan infrastruktur dan koneksi internet menjadi salah satu hambatan utama dalam menyediakan akses yang merata terhadap informasi dan hiburan melalui media penyiaran.

Mengatasi masalah-masalah tersebut memerlukan upaya kolaboratif dari pemerintah, lembaga pengawas penyiaran utamanya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID), industri media, dan masyarakat sipil. Penguatan regulasi, peningkatan kesadaran publik, pengembangan infrastruktur, dan promosi keadilan dalam representasi adalah beberapa langkah yang dapat diambil untuk meningkatkan tata kelola penyiaran di Indonesia dan menjadikannya lebih berkualitas, etis, dan inklusif.

Restorasi

Penyiaran televisi dan radio merupakan salah satu media massa yang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membentuk opini dan budaya masyarakat. Di Indonesia, industri penyiaran telah mengalami perkembangan yang pesat seiring dengan kemajuan teknologi dan perubahan sosial. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, munculnya berbagai isu terkait tata kelola penyiaran menunjukkan perlunya reformasi mendalam dalam industri ini.  Salah satu isu utama yang perlu diperhatikan adalah masalah regulasi dan pengawasan dalam penyiaran televisi dan radio. Meskipun telah ada undang-undang yang mengatur tentang penyiaran, implementasinya masih belum optimal. Perbedaan standar pelaksanaan di berbagai daerah serta minimnya pengawasan terhadap konten yang disiarkan telah menyebabkan munculnya konten yang tidak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku di masyarakat.

Oleh karena itu, langkah-langkah perbaikan dalam tata kelola penyiaran televisi dan radio di Indonesia menjadi sangat penting. Pertama, penguatan regulasi. Pemerintah perlu meningkatkan peran dan kapasitas lembaga yang bertanggung jawab atas regulasi penyiaran, seperti KPI. Penguatan regulasi ini termasuk dalam hal penegakan standar konten yang disiarkan, proses pemberian izin penyiaran, serta penanganan pelanggaran yang terjadi. Kedua, peningkatan kesadaran publik. Masyarakat perlu dilibatkan secara aktif dalam pengawasan dan pengendalian konten yang disiarkan. Peningkatan kesadaran publik tentang pentingnya konsumsi media yang sehat dan bertanggung jawab dapat dilakukan melalui kampanye edukasi dan partisipasi dalam forum diskusi terkait (Ibda, 2021).

Ketiga, penyamaan standar penyiaran. Dalam konteks ini, diperlukan penyamaan standar penyiaran di seluruh wilayah Indonesia agar tidak terjadi disparitas dalam penilaian konten yang disiarkan. Standar ini haruslah didasarkan pada nilai-nilai moral, etika, dan keberagaman budaya yang berlaku secara universal. Keempat, penegakan keadilan dan keberagaman. Penyiaran harus mendorong keadilan dan keberagaman dalam representasi masyarakat, termasuk dalam hal jenis kelamin, etnis, agama, dan latar belakang sosial. Ini dapat dilakukan dengan memberikan ruang yang cukup bagi berbagai kelompok masyarakat untuk berpartisipasi dalam produksi dan penyiaran program-program media.

Kelima, pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang ahli di bidangnya. Industri penyiaran memerlukan sumber daya manusia yang berkualitas dan profesional. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan industri perlu bekerja sama dalam mengembangkan program pelatihan dan pendidikan bagi para profesional penyiaran agar mampu menghasilkan konten yang berkualitas dan informatif. Keenam, peningkatan aksesibilitas yang adil. Pemerintah perlu memastikan bahwa akses terhadap siaran televisi dan radio dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk mereka yang berada di daerah terpencil dan berpendapatan rendah. Ini dapat dilakukan melalui pengembangan infrastruktur dan kebijakan yang mendukung penyiaran yang inklusif dan merata.

Dengan menerapkan langkah-langkah perbaikan tersebut, diharapkan industri penyiaran televisi dan radio di Indonesia dapat menjadi lebih berkualitas, beretika, dan berdaya saing. Pembaruan dalam tata kelola penyiaran akan menjadi landasan yang kuat bagi terciptanya media yang berfungsi sebagai alat untuk memperkokoh persatuan, mendidik, serta menghibur masyarakat Indonesia secara seimbang dan berkeadilan. Semoga!

– Ketua Pemuda Nusantara Jateng, Sekertaris Ranting NU di Kabupaten Rembang.