Jakarta, Harianjateng.com – Melalui platform Zoom Meeting, Pusat Riset Agama dan Kepercayaan (PRAK) Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (IPSH) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyelenggarakan FDG atau Sharing Session bertajuk “Filantropi Nahdlatul Ulama” pada Selasa (26/3/2024) yang dihadiri puluhan periset, dosen/akademisi, mahasiswa, dan masyarakat umum.
Sebagai informasi, kegiatan tersebut merupakan rangkaian riset yang dilakukan oleh peneliti PMB BRIN Muhammad Nur Prabowo Setyabudi, peneliti PRAK BRIN Aji Sofanudin, dosen Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Temanggung Hamidulloh Ibda, dan dosen Universitas Gadjah Mada Ghifari Yuristiadhi Masyhari Makhasi bertajuk “Islamic Creative Philanthropy: Studi Terhadap Praktik Filantropi Islam pada Komunitas Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Ahmadiyah, dan Syiah (MUNAS) di Indonesia.“
Dalam sambutannya, Kepala Pusat Riset Agama dan Kepercayaan (PRAK) Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (IPSH) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dr. Aji Sofanudin mengatakan bahwa sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi filantropi Islam yang cukup besar.
Menurut data Kemenag RI, potensi zakat di Indonesia sangat besar mencapai 327 triliun. Sementara data Baznas menyebutkan dana zakat yang tersalurkan sebesar 33 T pada tahun 2023.
Ini artinya baru 10,09 % potensi zakat yang mewujud. Belum lagi potensi filantropi Islam yang lain seperti infaq, sedekah, hibah dan wakaf, kata Aji.
Kegiatan ini, menurutnya, merupakan bagian dari riset filantropi yang menyasar organisasi atau komunitas Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Ahmadiyah, dan Syiah.
“Jika merujuk pendapatnya Prof. Ahmad Najib Burhani, Nahdlatul Ulama menjadi ormas Islam yang menarik karena mampu melahirkan penciptaan atau penguatan identitas Islam nasional dengan nama Islam Nusantara. NU dinilai unik dan distingtif dibandingkan dengan Islam di belahan dunia lain, karena karakternya yang damai, moderat, keberterimaan terhadap demokrasi yang tinggi,” lanjutnya dalam kegiatan yang dimoderatori BRIN Muhammad Nur Prabowo Setyabudi tersebut.
Dalam konteks riset ini, katanya, NU dikaji karena telah memiliki lembaga amil yaitu LAZISNU yang berdiri tahun 2004 sesuai dengan amanat Muktamar NU ke-31 di Boyolali, Jawa Tengah.
Direktur Eksekutif NU Care – LAZISNU PBNU Drs. KH. Qohari Cholil dalam paparannya mengatakan banyak hal, dari sejarah, profil, capain, inovasi, dan dampak filantropi yang dilakukan LAZISNU. “LAZISNU diberi amanat sebagai penopang dan penyokong kegiatan sosial di lingkungan NU khususnya di bidang sumber daya manusia dan filantropi,” katanya.
Pihaknya juga memberikan contoh bagian dari program LAZISNU yang populer adalah KOIN NU. “Jadi Koin NU ini adalah singkatan dari Kotak Infak (Koin) NU,” paparnya.
Kiai Qohari juga membeberkan, bahwa NU Care – LAZISNU PBNU terdiri atas 33 cabang tersebar di 29 negara melalui PCI NU, dan 26 provinsi di Indonesia.
Dalam hal penghimpunan, NU Care – LAZISNU PBNU melakukan sejumlah inovasi. “Kami ada fundraising lembaga. Di sini melakukan optimalisasi jejaring lembaga dan Badan Otonom NU melalui Koin NU, optimalisasi web crowfunding nucare.id, kemitraan CSR perusahaan dan pemerintah, kemitraan dengan platform digital. Kemudian sistem pelaporan dengan skema PSAK 109-409, audit internal, audit PBNU, audit KAP, audit Syariah Kemenag RI,” jelasnya.
Dalam aspek mekanisme penyaluran, dilakukan kolaborasi horizontal yaitu pelibatan lembaga dan Banom NU, juga ada pelibatan pakar/ahli, penyaluran yang dilakukan oleh 233 cabang LAZISNU, dan penyaluran yang tersebar di 30 provinsi cabang LAZISNU.
Sementara itu, Dr. Hamidulloh Ibda menambahkan bahwa sebenarnya di LAZISNU, realitas di lapangan khususnya di Jawa Tengah telah terlaksana praktik filantropi yang terstruktur (struktural), tidak/semi terstruktur atau kultural. “Kalau yang tidak terstruktur ini banyak sekali, dari infak Arwah Jama’, infak pada kegiatan tahlilan, tahtimul Quran, manaqiban, ziarah walisongo, ziarah wali lima Jawa Timur, infak Ramadan, arisan Qurban, arisan wakaf tanah, dan lainnya,” jelasnya.
Selain itu, Ibda juga menjelaskan bahwa banyak sekali praktik baik yang telah dilakukan oleh LAZISNU Jawa Tengah dan cabang di wilayah Jawa Tengah. Dari praktik filantropi itu, katanya, dibutuhkan pola yang bisa dikategorisasi sebagai filantropi kreatif Islam agar menjadi temuan menarik.
“Kalau dari kajian yang saya lakukan, filantropi kreatif Islam itu intinya pendekatan dalam memberikan sumbangan dan dukungan yang diilhami oleh nilai-nilai Islam, namun dengan kecenderungan untuk memanfaatkan inovasi dan kreativitas dalam pelaksanaannya. Nah, kami membutuhkan saran dan masukan dari LAZISNU PBNU untuk menguatkan temuan itu,” kata dia.
Di sisi lain, dosen Universitas Gadjah Mada Ghifari Yuristiadhi Masyhari Makhasi menambahkan bahwa sebelum terjadi gerakan filantropi Islam yang masif, dilatarbelakangi oleh sejumlah fenomena. “Gerakan-gerakan Islam yang tumbuh di Yogyakarta pada kurun 1920-an sampai 1930-an menginstitusionalisasi aset-aset kedermawanan yang mereka terima sehingga menjadi modal sosial bagi mereka dalam menunjukkan eksistensinya sebagai masyarakat sipil,” katanya.
Terjadinya momentum-momentum dinamis termasuk kehadiran gerakan Zending dan Missie yang semakin kuat di Yogyakarta, lanjutnya, momentum-momentum itu termasuk pula dampak panjang ekspansi perkebunan, reogrnisasi tanah/agraria, kemunculan santri urban, dinamika pengulon dan organisasi Islam. Dari momentum-momentum itu melahirkan banyak dampak yang pada akhirnya hadir kedermawanan Islam sebagai gerakan sosial baru di Yogyakarta.
Penulis buku Filantropi Masyarakat Perkotaan: Transformasi Kedermawanan Muhammadiyah di Yogyakarta, 1912-1931 itu menjelaskan pula bahwa ada kesamaan fungsi lembaga sebagai fundriser dan model pentasyarufan melalui lembaga dalam Muhammadiyah dan NU. “Selain itu ada kesamaan pilar program antara LAZISMU dan NU-Care/LAZISNU. LAZISNU menggunakan cerdas, istilah program yaitu berdaya, sehat, damai, hijau,” papar dia.
Red-HJ99/HR