Oleh Damay Ar-Rahman
Aceh merupakan provinsi di Indonesia dengan sumber kekayaan alam yang melimpah. Tidak hanya dikenal sebagai daerah yang menempati posisi nilai religi tertinggi di Indonesia, tetapi juga di mata dunia. Kekuatan masyarakat Aceh dapat dilihat berdasarkan literatur sejarah kebangsaan sejak masa lampau. Rakyat Aceh mampu membangun segala potensi alam secara baik sehingga menghadirkan produk-produk bermutu untuk diperhatikan bahkan dimiliki. Belum lagi keindahan alam yang terbentang dengan cerita-cerita menarik. Aceh sangat diincar sebagai lokasi liburan, bahkan banyak pihak yang menjadikan Aceh sebagai ladang investasi dengan memanfaatkan sumber daya alam berupa gas, emas, kopi, dan tembakau. Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia ,Aceh memiliki nilai jual tinggi terhadap perekonomian yang menjadi pondasi daerah dalam mensejahterakan maasyarakat, sehingga diharapkan kurangnya jumlah angka kemiskinan dan pengangguran. Maka, dibutuhkan kemampuan-kemampuan khusus pada setiap masyarakat agar segala keanekaragaman sumber daya alam Aceh dapat dikembangkan. Hal ini tentunya membutuhkan pelatihan-pelatihan khusus sehingga sumber daya manusia dapat digunakan untuk memajukan industri dan pembangunan oleh masyarakat Aceh sendiri. Adapun salah satu perhatian penduduk luar terhadap Aceh salah adalah tembakau. Adapun dalam bahasa Aceh, tembakau sering disebut bakong.
Terdapat beberapa jenis tembakau di Aceh. Salah satu produk unggulannya adalah tembakau hijau yang tumbuh di kawasan Aceh Tengah. Aceh Tengah tidak hanya terkenal dengan kecantikan alam yang memukau, tetapi juga sumber daya alam seperti kopi dan tembakau. Tembakau paling diminati oleh sebagian besar kaum pria terutama saat bersantai atau ketika mengalami kondisi tertentu. Tembakau diracik dengan berbagai wujud termasuk berbentuk rokok. Namun, di masa lalu rokok belumlah popular terutama pada masa konflik karena sulitnya akses penjualan rokok. Penikmat tembakau akan membentuknya sendiri dengan berbagai wujud atau disebut Ngelinting. Ukurannya berbeda-beda tergantung kesukaan. Tembakau hijau sangat khas dinikmati. Aromanya yang harum bahkan dianggap memiliki kandungan ganja dan jika mengkonsumsinya dapat membahayakan. Akan tetapi, pernyataan tersebut tidaklah benar, melainkan warna dan aroma yang dihasilkan berdasarkan ciri-ciri dari tembakau itu sendiri.
Namun, bagaimana badan hukum menanggapi tembakau hijau? Jawabannya adalah legal atau berizin. Tembakau hijau dengan citra rasa persis seperti daun ganja tersebut sangat laris dipasaran bahkan sampai mancanegara. Tembakau hijau asal Aceh inipun bahkan sangat diminati oleh penduduk di pulau Jawa. Tembakau hijau telah diizinkan oleh pihak Bea Cukai di bawah pendampingan Bea dan Cukai Aceh. Tembakau hijau yang banyak disangka sebagai ganja telah menjadi rokok dengan penjualan tinggi, dimulai seharga dua belas ribu rupiah. Berdasarkan sumber Media Serambi Indonesia data Bea Cukai memaparkan pemasukan yang diterima mulai Januari hingga Juni 2023 mencapai 281 juta, sedangkan dari cukai rokok sebesar 77,93 persen atau senilai Rp. 219,4 juta. Hasil tembakau tersebut dari kebun warga yang juga digunakan untuk mereka sendiri, bahkan mereka membelinya dari petani lainnya untuk memenuhi stok agar tidak kekurangan. Tembakau akan dikirimkan jika telah diolah sebaik mungkin sehingga meningkatkan kualitas citra rasa tembakau itu sendiri. Kesuksessan mengolah tembakau membuat sebagian petani mampu membangun pabrik sendiri yang menjadi pemicu meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
Selain tembakau hijau asal Aceh Tengah, di Aceh Besar juga memiliki tembakau yang diproduksi sejak zaman dahulu. Tembakau hasil Aceh Besar ini tidak kalah kualitasnya dengan tembakau hijau, sama-sama dapat dinikmati oleh berbagai kalangan. Untuk kaum muda, tembakau di Aceh Besar diperjual belikan sesuai selera, dapat berbentuk rokok atau dengan melinting lalu dibungkus. Harumnya membuat siapapun ingin mencoba bahkan ketagihan.
Aceh besar sendiri memiliki tembakau asli yang diolah dengan sangat baik dan menghasilkan produk menarik. Tembakau Aceh Besar berpotensi meningkatkan perekonomian masyarakat karena tidak hanya menghasilkan sumber daya alam berupa cengkeh tetapi juga keindahan alam yang terbentang sangat asri, tentunya memikat para penikmat traveler untuk dikunjungi. Adanya tempat wisata tentu bermanfaat bagi pedagang menjual tembakau yang telah dikemas dan akan dikenal oleh para wisatawan. Tentunya, kealamian alam menghasilkan setiap produk bermutu tanpa sentuhan zat-zat berbahaya. Aceh Besar yang sebagian besar wilayahnya adalah lahan hijau dengan nuansa sejuk, terutama masih dihuni oleh hewan-hewan hutan mengartikan betapa pesonanya keindahan alam hayati. Maka, tembakau diproduksi secara terjamin tidak hanya menyajikan sebuah rokok dan cerutu, tetapi juga memiliki khasiat tinggi dibentuk menjadi obat dan bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Tembakau yang dihasilkan akan diolah sedemikian baik. Selanjutnya dipasarkan ke berbagai wilayah di Indonesia.
Terkait produksi tembakau di Aceh Besar berdasarkan (Detik.com 4/8/2023) di Desa Lam Beugak, Kecamatan Kuta Cot Glie, Aceh Besar, masyarakat setempat menjadikan tembakau sebagai salah satu sumber pendapatan sejak tahun 1982, bahkan tembakau lebih menjamin keuntungannya dibandingkan tanaman lainnya. Tidak sampai di situ, besarnya minat masyarakat terhadap penjualan tembakau membuat mereka memproduksi tembakau secara rumahan. Hal tersebut adalah bukti bahwa betapa tingginya penjualan dan minat terhadap pasar tembakau. Lahan seluas tujuh hektar sebagiannya ditanami dengan varian tanaman. Hal tersebut bertujuan untuk menambah keharuman pada tembakau. Untuk pertumbuhannya membutuhkan waktu kurang lebih selama empat-lima bulan dan mengalami panen selama empat belas kali. Proses ini dapat dilihat mulai dari daun terbawah pada dahan tembakau. Adapun satu hektar lahan bisa menghasilkan dua ton tembakau kering. Dalam berbagai perencanaan masyarakat bahkan pemerintah, tembakau ini selanjutnya akan terus dikembangkan bahkan sampai ke mancanegara. Beberapa peneliti akan dilibatkan untuk mendukung perkembangan tembakau di Aceh Besar dengan menciptakannya dalam berbagai bentuk dan diracik tidak hanya dalam bentuk rokok, tetapi dapat sebagai bumbu masakan, perasa minuman, cemilan, dan lain sebagainya.
– Alumni Universitas Malikussaleh dan Pascasarjana IAIN Lhokseumawe. Penulis telah menerbitkan beberapa buku di antaranya Aksara Kerinduan 2017, Serpihan Kata 2018, Senandung Kata 2018, kumpulan cerpen Bulan di Mata Airin 2018, Dalam Melodi Rindu 2019, novel Akhir Antara Kisah Aku dan Kamu 2020, Di Bawah Naungan Senja, dan Musafir 2022 dan Hati yang Kembali 2024. Tulisannya dimuat berbagai surat kabar lokal, nasional, dan Malaysia, juga tergabung dalam puluhan antologi bersama dan majalah sastra. Berdomisili di Lhokseumawe, Aceh.