Transformasi Kampung Batik Semarang: Mengubah Kawasan Kumuh Menjadi Destinasi Wisata Berbudaya

0
100
Kampung Batik Semarang (Foto: Naila Mufidah).

Semarang, Harianjateng.com – Di balik semarak warna-warni mural dan aroma malam batik yang khas, Kampung Batik Semarang menyimpan kisah panjang tentang jatuh-bangunnya sebuah permukiman kota. Dulu dikenal sebagai kawasan kumuh dan rawan kriminalitas, kampung ini telah menjelma menjadi ikon wisata budaya yang tidak hanya memikat wisatawan, tetapi juga menghidupkan kembali identitas lokal yang nyaris terlupakan.

Batik bukan hal baru bagi warga Kampung Batik Rejomulyo. Sejak abad ke-18, kawasan ini telah dikenal sebagai sentra produksi batik pesisiran. Batik Semarangan, meski sempat kehilangan pamor dan identitas motifnya, menyimpan warisan sejarah yang kuat. Namun penjajahan Jepang tahun 1942 mengubah segalanya. Kampung dibumihanguskan, aktivitas membatik lumpuh, dan kawasan ini berubah menjadi daerah kumuh hingga dekade 1990-an.

Titik balik muncul pada tahun 2005, saat Pemerintah Kota Semarang mencanangkan program Kampung Tematik. Upaya ini ditindaklanjuti dengan penetapan Perda No. 14 Tahun 2011 yang menjadikan Kampung Batik sebagai kawasan cagar budaya.

Pemerintah tidak berjalan sendiri. Warga membentuk Paguyuban Kampung Batik dan berperan aktif dalam promosi serta pelatihan batik. Puncaknya, pada 24 September 2018, dibentuklah Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) melalui SK Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang No. 556/2566, sebagai jembatan komunikasi antara warga dan instansi. Pokdarwis menjadi tulang punggung pengelolaan wisata, mulai dari penyusunan paket wisata hingga pelatihan ekonomi kreatif.

Keterlibatan masyarakat menjadi kunci utama keberhasilan revitalisasi ini. Warga dilatih membatik, menciptakan motif khas Semarangan, hingga menjual produknya kepada wisatawan. Kampung ini pun menjadi ladang ekonomi baru bagi warga lokal. Rumah-rumah disulap menjadi ruang display, toko batik, hingga studio pelatihan.

Ignasius Luwiyanto, salah satu warga setempat, menuturkan, pihaknya dulu hanya bekerja serabutan. “Kami dulu hanya hidup dari serabutan. Sekarang, kami bangga karena karya batik kami bisa dijual sampai luar kota,” kata dia, pada 17 Juni 2025 kemarin.

Daya tarik Kampung Batik tak berhenti pada batik semata. Atraksi wisata seperti “Kampoeng Djadhoel” hadir sebagai simbol kreativitas warga. Melalui swadaya murni dan program “jempitan” (iuran harian Rp500), warga mengecat rumah, membuat mural sejarah, hingga membangun ruang terbuka sebagai tempat berkumpul dan edukasi budaya. Warga juga menyediakan kotak donasi bagi wisatawan, menunjukkan transparansi dan semangat kolektif mereka.

Keberhasilan Kampung Batik tak bisa dilepaskan dari peran partisipatif masyarakat dan pendekatan berbasis kearifan lokal. Revitalisasi bukan hanya memperbaiki jalan atau saluran air, melainkan menghidupkan kembali identitas komunitas dan budaya mereka.

Stakeholders seperti Dinas Pariwisata, Dinas Perindustrian, hingga CSR PLN dan Polines berperan sebagai pendukung. Namun, motor utama tetap berada di tangan warga. Pokdarwis dan Paguyuban Kampung Batik menjadi bukti bagaimana kelembagaan lokal bisa tumbuh dari bawah.

Namun, tantangan tetap ada. Beberapa RT masih tertinggal dalam pengembangan, dan aktor penggerak di tingkat mikro masih terbatas. Keberhasilan ini menjadi contoh penting bahwa replikasi harus memperhatikan kesiapan sosial-budaya, bukan sekadar meniru bentuk luar.

Kampung Batik Semarang hari ini bukan hanya destinasi wisata. Tempat tersebut adalah contoh bagaimana pemberdayaan masyarakat dan pengakuan terhadap sejarah dapat menjadi motor perubahan. Semangat kolektif, kreativitas warga, dan sinergi dengan pemerintah menjadikan kampung ini bukan hanya hidup tetapi menghidupi.

Dari kumuh menjadi berbudaya, dari dilupakan menjadi dibanggakan, Kampung Batik adalah wajah baru Semarang yang tak sekadar cantik, tapi juga bermakna. (Red-HJ33/Heri/rls_ Naila Mufidah).