
Semarang, Harianjateng.com – Kota Lama yang berada di Kota Semarang, Jawa Tengah yang selama ini dikenal sebagai kawasan bersejarah dan pusat perdagangan di beberapa kota, ternyata menyimpan persoalan yang menyedihkan yaitu eksploitasi pada anak-anak yang dijadikan pedagang untuk mendapatkan nafkah. Fenomena ini menghilangkan masa emas anak-anak sebagai generasi penerus, tetapi juga berdampak buruk pada perkembangan fisik, psikologis dan pendidikan mereka.
Pada sore menjelang malam hari, terdapat anak-anak yang mulai menawarkan dagangannya kepada wisatawan. Tampak seorang anak laki-laki yang berjualan dengan membawa beberapa makanan seperti telur gulung dan sosis goreng untuk diperjualkan. “Ingin membantu orang tua karena dirumah ada adik dua yang masih kecil-kecil,” ucap Pasha, Kamis 19 Juni 2025.
Menurut Pasha (12), salah satu anak-anak yang berdagang di kawasan tersebut menceritakan alasan mereka memilih untuk berjualan, dengan mereka memilih untuk berjualan seperti makanan, mereka lebih mudah untuk menjelaskannya kepada wisatawan. Dengan kalimat “Kak telurnya kak sosis satu 10 ribu” bisa menarik perhatian wisatawan untuk membeli dagangannya dengan rasa penuh iba.
Ia seharusnya duduk manis di bangku kelas 1 SMP dan belajar untuk masa depannya serta bermain sesuai anak umurnya, bukan bersaing dengan klakson kendaraan dan tolakan dari para wisatawan. Ketika bel pulang sekolah berbunyi, anak-anak memilih untuk pulang dan bermain berbeda dengan Pasha yang harus pulang untuk bersiap jualan demi membantu perekonomian keluarganya.
Fenomena ini bukanlah hal baru. Kota Lama yang kian ramai telah menjadi titik sentral perputaran ekonomi informal termasuk dengan melibatkan anak-anak. Namun keterlibatan mereka dalam aktivitas ekonomi, terutama pada sore menjelang malam hari memunculkan keprihatinan soal hilangnya masa emas anak.
Masyarakat pun terbelah. Sebagian merasa penuh iba dan membeli dagangan mereka, sebagian lain beranggapan bahwa memberikan uang justru memperkuat siklus eksploitasi. “Miris, tapi kita juga bingung harus apa karena serba salah,” kata Rana, pengunjung asal Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Di tengah indahnya Kota Lama yang berciri khas, ada suara anak-anak seperti Pasha menjadi sebuah pengingat bahwa pembangunan tak hanya soal fisik, melainkan juga tentang memastikan setiap anak memiliki hak atas masa kecilnya tanpa haus menukar tawa mereka dengan lelahnya berjualan.
Penulis: Shofie Failla
Editor: Heri Susanto