Kendal, Harianjateng.com- Budaya sebagai perspektif pemikiran memberikan kerangka untuk memahami kompleksitas kehidupan manusia. Dengan menyelami budaya, kita dapat memperluas wawasan, meningkatkan empati, dan menciptakan dialog yang lebih produktif antar budaya.
Dalam dunia yang semakin terhubung, pemahaman terhadap budaya sebagai perspektif pemikiran menjadi semakin penting untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan inklusif.
Hal itulah yang ingin diangkat oleh Kolektif Kita Kendal, yang merupakan gerakan masyarakat dari mahasiswa dan budayawan pada acara kumpul budayawan yang digelar pada 26 September 2024 di depan Kampus Universitas Muhammadiyah Kendal Batang (UMKABA).
Dalam acara tersebut, Kolektif Kita Kendal mengangkat tema “Mimbar Kebudayaan, Rakyat Melawan Sebgai Revitalisasi Korban Pelanggaran HAM melalui Prespektif Kebudayaan”.
Melalui acara itu, Kolektif Kita Kendal berupaya melakukan edukasi dan juga pemahaman terkait kasus-kasus HAM yang pernah terjadi di Indonesia kepada para peserta kegiatan dengan cara yang ringan, yaitu melalui berbagai macam pagelaran seni yang ditampilkan diatas panggung.
Kegiatan dibuka dengan pentas musik yang menyuguhkan lagu-lagu yang menceritakan tentang perjuangan menuntut keadilan bagi para korban pelanggaran HAM. Kemudian, dilanjut dengan penampilan dalang cilik bernama Afan dari Plantungan Kabupaten Kendal.
Selanjutnya penampilan teatrikal dari Teater Semut Kendal yang membawakan puisi salah satunya berjudul “Dongeng Marsinah” karya Sapardi Djoko Damono.
Acara berikutnya adalah diskusi bersama para pemantik, diantaranya KH. Budi Harjono atau Abah Budi, Bung Aqib, dan Shuniyya Ruhama.
“Kedaulatan Individu merespon realitas menjadikan kedaulatan rakyat yang ditopang kedaulatan ekonomi dan politik. Namun pada realitanya kedaulatan individu saat masuk kedalam ruang-ruang ekonomi dan politik, akan selalu kalah dan hilang sisi idealismenya,” kata Bung Aqib dalam acara tersebut.
Sementara itu, Shuniyyah Ruhama menanggapi hal tersebut. Ia menanyakan mengapa dalam perjuangan itu banyak yang goyah? karena hanya mendapatkan pendidikan budi pekerti dan bukan akhlak (karakter). Maka, menurutnya, saat ini bukan kekurangan orang pintar, namun orang yang dapat diteladani.
KH. Budi Harjono juga menambahkan, bahwa melalui buadaya memang terlihat sunyi namun masuk kedalam jiwa, hal itulah yang menjadi titik awal pergerakan. “Jadi harus melakukan gerilya peradaban, diskusi mulai dari pelosok-pelosoEvsn9” ujarnya.
Red-HJ99/Ev